Rabu, 11 Februari 2015

Untuk Grace


Grace


Untuk dia yang telah pergi. Fajar telah tiba. Dan malam pun telah lewat; jauh meninggalkan aku di sudut kamar. Tanpa apapun. Tak terkecuali seberkas senyum manis dari si pemilik pipi lesung. Rupanya hadirnya semalam telah mengalahkan seluruh dayaku. Melumpuhkan hatiku. Itu benar. Walau hanya dalam mimpi, namun aku sungguh merasakan hadirnya. Hadirnya bagai bunga indah yang segar melambai di taman hatiku. Tangannya yang tak pernah lelah merangkul erat tubuhku masih hangat terasa. Itu benar.

Pagi itu. Mentari mentari merangkak perlahan. Teriknya seakan menusuk jiwaku yang sedang galau. Ohh.. bukan hanya galau, yang tepatnya “gegana” -gelisa ,galau, merana. Mungkin rangkain sederet kata ini yang tepat untukku. Sungguh saat ini aku tulus merindukannya. Senyumnya, candanya, marahnya, kepolosan hatinya, galaunya bahkan sampai tangisnya pun masih melekat di hati. Namun, semua yang kubanggakan ini kini tinggal kenangan. Dia yang ku sayang telah pergi. Pergi untuk selamanya.

“Dia meninggal tepatnya pada ultahnya yang ke-19. Sungguh ia sangat menderita. Ia tak sanggup menahan berbagai ejekan tajam yang menghujaninya, bahkan dari orang tuanya sendiri”. Jelas sahabatku Nova, yang juga sahabat terbaik Grace pujaan hatiku, ketika aku baru pulang mengadu nasib. Ya, mengadu nasib untuk kami. Grace dan aku. Walaupun kini ia telah tiada, namun cintaku tulus nan suci untuknya. Maafkan aku Grace. Aku terlambat melindungimu.

Pada sepotong senja yang murung. Seperti biasa aku sering menghabiskan waktu bersama para sahabat terbaikku. Emperan rumahku menjadi saksi. Entah suka ataupun duka kami selalu bersama-sama. Harus kuakui, kami datang dari beragam latar. Namun, kami tetap satu. Rupanya aku dan para sahabatku, juga Grace terkadang egois. –mengabiskan waktu untuk kesenangan kami. Tanpa peduli apa yang sedang terjadi di sekitar. Tak ada yang indah dari kami. Kami untuk kami, dan kami untuk kita.

“Sesaat sebelum Grace di bawa ke rumah sakit, ia sempat menitipkan sepucuk surat untukmu yang ia cinta selalu”. Kening Nova agak berkerut sambil menyerahkan buraman bisu itu. Mata Nova saat itu seperti cermin. Aku berdiri persis di kepala Grace, sedang yang lain duduk mengelilingi pusaranya. Aku sempat meneteskan air mata. Lalu mengadu pada Tuhan. Mengapa harus dia. Grace, di mana aku harus menemuimu, aku menatap diam pusara hitam. Di sana terpampang nama yang indah “ELENA GRACE”. Jujur nama itu telah menyatu dalam jiwaku.

“Maafkan aku sayang” aku harus meninggalkanmu. Aku tak sanggup lagi menahan semua siksaan ini. Maafka kau. Ini bukan salahmu meninggalkanku – menjauh dariku – bukan sayang. Ini salah orang tuaku. Aku tak sanggup lagi mengahadapi mereka. Terkadang aku melewati malamku dengan derita dan tangisan. Hingga aku sempat menulis surat untuk Tuhan. Tuhan mengapa orangtuaku memperlakukan kau seperti ini. Inikah rasa sayang seorang ayah ataukah rasa cinta seorang ibu? Di saat sepi dan rindu, aku sering memanggil namamu sayang, tapi tak ada jawaban di sana. Aku terpaksa melakukan ini karena orang tuaku menjodohkan aku dengan orang pilihan mereka. Maafkan aku. Aku harus pergi. Jaga cinta kita. Walaupaun aku tak’kan ada lagi untukmu dan sahabat terbaik kita, satu pintaku, semoga cinta kita abadi. Aku sayang kamu. Selamat tinggal sayang”. Itu sepucuk surat yang dititipkan Grace untukku.

“Setelah kepergianmu, Grace selalu kelihatan murung. Terkadang dalam menghabiskan waktu luang sama kita, ia tak pernah riang seperti yang dulu. Bahkan ia lebih memilki tuk diam”. Juan menepuk bahuku dan mengajak pulang karena senja hampir lewat. Semeñtara itu, cahaya lilin yang mengelilingi makam Grace mulai sibuk berperang melawan keĝelapan. Jujur saat itu, akun seperti berada dalam kekosongan jiwa. Seperti tak ada daya dalam dada. ‘Grace, aku merindukanmu. Kemana aku harus menemuimu’. Aku menatap pilu senja yang hendak berlalu. Lama kami terdiam. Seperti kesunyian malam. Mungkin sahabatku tak pernah mengerti yang sedang kurasakan. Aku terluka. Sungguh terluka. Hilang sudah semua yang selama ini aku sanjungi.

 Mungkin ini yang dinamakan cinta sampai sejati atau sejenisnya. Yang aku tahu hanya cintaku padanya sungguh tulus. Cintaku padanya bagai para pemilik cinta sejati lainnya. “Cinta adalah sebuah tindakan penyerahan diri secara total. Karena itu, ia harus mampu terluka untuk kekasih pilihan hatinya itu. Ia harus menderita bersama dia yang ia sayang”. Demikian kata Juan sahabatku. Ia merupakan salah satu penyair muda yang hebat.

Malam datang membawa sunyi. Sungguh di saat itu kami sudah mengerti lagi arti sebuah kesunyian. Karena kesunyian di hatiku telah melampaui yang sunyi itu. Yang aku tahu hanyalah kehilangan. Dalam dingin malam, aku menitipkan pesan untuk rembulan. Berharap ia menyatukan hati kami. Grace aku merindukanmu. Malam kian pekat. Sepi. Malam yang dingin terus menyambung hingga fajar menjemput.

Waktu berlalu. Pagi yang indah datang lagi. Namun bayangan Grace tak pernah berlalu dari hatiku. Kini aku benar-benar dihimpit rasa rindu. Ketulusan rindu yang datang dari kedalam jiwa. Pantulan mentari yang menerobos masuk seolah menambah pilu di dada. Sungguh ini merupakan sebuah kenangan yang menusuk hati. Pahit terasa menyatu.

Aku melangkah perlahan menuju pusara pujaan hatiku. Tak ada yang menemani aku di sana. Tak terkecuali sepoi yang terkadang berhasil mengumpulkan dedaunan juga debu yang menutupi makam Grace. “Grace aku datang untukmu; aku rindu senyum manismu. Aku terus menatap nisan yang berdiri kokoh persis di kaki Grace. Nama yang terpampang di sana masih melekat di hatiku. ELENA GRACE,”. Grace jangan pernah lupakan aku dan kita. Tulus doaku untukmu. Rest in peace.
Malam di Study Room-Vocaz Mof
Awal Februari 2015-02-06
Chez Patikawa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar